Film Indonesia (sudah) Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri ?



Awal Januari lalu, kebetulan saya mendapatkan Undangan untuk hadir dalam release terbuka hasil sebuah Riset yang dilakukan sebuah lembaga survey terkemuka di Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Yang membuat menarik, ini adalah riset mengenai pola menonton orang Indonesia di Bioskop yang sejalan dengan bidang pekerjaan sayas ehari-hari tentunya. Target dari riset inipun diutamakan kaum milenial, yang digadang-gadang memang suka menghabiskan waktunya untuk menonton ke bioskop. Dan yang lebih spesifik lagi (katanya) juga menghasilkan seberapa besar penonton film Indonesia dibanding film asing lainnya yang beredar di Indonesia. Makin bikin penasaran aja kan?

====


Bertempat di Ballroom Djakarta Theater XXI Jakarta, setelah egistrasi saya melihat baligo besar dekat registration desk, beberpa logo terpampang besar disitu selain logo SMRC tentunya sebagai penyelenggara riset dan event ini tentunya. Ada APFI (Asosiasi Perusahaan Film Indonesia), BIP (Badan Perfilman Indonesia), dan Cinema XXI yang mungkin sebagai perwakilan jaringan bioskop tertua di Indonesia.
Sayapun diminta berfoto di depan baligo tadi setelah menerima tiket dan nomor tempat duduk nanti di dalam.

Setelah menunggu sekitar 10-15 menit (dan ini sudah lewat dari jam yang ditentukan), mulai bermunculan para tamu undangan lain (event ini hanya dihadiri undangan, selain wartawan peliputan). Beberapa saya sapa karena saling mengenal, dan berbincang sebentar tentang kemungkinan apa yang akan dipaparkan nanti di dalam ruangan yang sampai menit ke 20 lewat dari jam resmi pintu masuknya belum dibuka. Terbilang, Reza Rahardian, Riri Riza, mira Lesmana, Dedi Mizwar, turut hadir dan sempat menikmati hidangan snack juga sembari meladeni para awak media yang mewawancarai mereka.
Tepat 40 menit saya dan beberapa rekan berbincang diluar sambil menikmati sajian snack, pintu utama dibuka yang sebelumnya para "dayang-dayang" XXI mulai berdiri rapi didepan pintu utama Ballroom.

Satu persatu tamu diantar ke kursi masing-masing, termasuk saya yang ditemani menuju tempat duduk sambil membawa sepiring snack dan secangkir teh manis panas yang baru saja saya seduh.

====

Setelah pintu ditutup, tidak berselang lama MC muncul dan memaparkan apa yang akan dibahas hari itu dan memeprsilakan moderator DR. Tito Imanda, seorang ahli komunikasi dan juga pemerhati film untuk naik keatas panggung.


DR. Tito sedikit memaparkan perkembangan film, trend millenials, dan sedikit "menyentil" para pelaku film tanah air mengenai perkembangan film Nusantara yang terlihat cepat, namun banyak dipertanyakan kualitasnya dibanding negara lain di Asia.
Sekitar 10 menit kemudian, beliau mempersilakan Ade Armando-sebagai periset, sekaligus Direktur Komunikasi pada Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), untuk memaparkan hasil risetnya, sekaligus membahasnya dengan audience di akhir acara.

Di awal, Ade Armando melempar beberapa fakta bahwa Industri film dunia sedang mengalami kejayaan tertingginya dalam sejarah. Pada 2019, angka penjualan tiket global mencapai rekor tertinggi 42,9 miliar dolar AS alias sekitar Rp 595 triliun. Angka ini setara dengan seperempat keseluruhan APBN kita. Angka tadi baru merujuk pada pembelian tiket bioskop dan belum dihitung pemasukan untuk industri film dari berbagai outlet lain, seperti hak tayang di televisi teresterial, televisi berbayar, jasa video online dan DVD.
Ade akhirnya kemudian juga melempar pertanyaan yang selama ini menggantung di setiap pelaku film, pemerhati film, dan penikmat film tanah air; diantaranya Berapa persen dari kaum muda kota yang menonton film Indonesia dan asing di bioskop? Apa alasan mereka tidak menonton? Seberapa sering mereka menonton? Apakah ada perbedaan antara generasi milenial dan generasi Z? Apa genre film yang disukai? Apakah ada perbedaan antara daerah? Belum lagi, ketika berbicara soal ketersediaan SDM, apakah sudah cukup filmmaker kita ? sudah tersediakah sekolah-sekolah, serta kampus dengan jurusan perfilman ? Bagaimana regenerasi kedepan?



Dan berdasar pertanyaan-pertanyaan itulah, ia dan tim, menitipkan pertanyaan-pertanyaan tambahan pada Beberapa Riset yang akan berjalan agar nantinya bisa ditarik kesimpulan empiris, untuk dijadikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada selama ini. Riset sendiri dibagi dalam 2 Riset berbeda dengan objek riset yang berbeda pula, yang diharapkan hasilnya akan mendekati kepada hasil yang real di lapangan.

====

Studi September 2019 di 103 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan 9,3% masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas menonton film nasional di bioskop; sementara hanya 8,2% menonton film asing di bioskop. Sedangkan Studi pada Desember 2019 memberikan gambaran lebih jelas tentang pola menonton di kalangan muda. Studi dengan responden anak muda berusia 15-39 tahun di 16 kota besar di itu menunjukkan bahwa 67% menonton film nasional, sementara hanya 55% yang menonton film asing.
Namun, hasil ini bukan berarti bahwa film domestik sudah mengalahkan Hollywood di pasar Indonesia. Data yang saya peroleh menunjukkan bahwa film Indonesia ‘baru’ mencapai 35% pangsa pasar nasional. 65% masih diisi oleh film asing, terutama Hollywood.


Pada slide-slide berikutnya, tren menonton film lokal makin memberi "angin segar". Ada slide yang menunjukkan bahwa orang tidak menonton film Indonesia bukan karena kualitasnya buruk, tidak layak tonton, atau hal lain yang berhubungan dengan kontaen. Namun, hal-hal teknis seperti jauhnya bioskop dari jangkauan, mahalnya harga tiket, dll.
Jadi, hasil ini, mampu menepis bayangan yang ada, bahwa film lokal tidak laku karena punya kualitas yang buruk. Sedangkan untuk masalah teknis tadi, kita sama-sama tahu kalau saat ini, begbagai jaringan bioskop asing seperti CGV, CINEPOLIS, GCI, DAN 21 CENTURY FOX, dll mulai masuk pasar nasional dan membuka ruang theaeter mereka diberbagai kota demi meraih penonton yang sebelumnya hanya menikmati film malalui saluran TV Terestrial, internet, maupun keping-keping cakram bajakan.
Akibat pertumbuhan bioskop ini pula-lah, akhirnya mampu merontokkan peredaran film bajakan, serta web penyedia film tanpa ijin. Bayangkan saja, pasar penonton tanah air kita, dimana dari 264juta jiwa, 150juta orang (bisa dihitung berulang karena menonton berulang ke bioskop), adalah pasar bagi para pebisnis kursi film di bioskop.


Film nasional juga sempat dikuatirkan mengalami kebangkrutan sekitar 5-9 tahun yang lalu. Pada 2011, tidak ada satupun film nasional yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta; pada 2015, hanya ada tiga film yang masuk kategori itu. Tapi kemudian setelah itu, secara mengejutkan pergerakan film nasional mengalami percepatan, sehingga pada 2019 ada 15 film yang tayang di bioskop, penjualan tiketnya lebih dari satu juta. Mengagumkan !!
Jadi, walau sumbangannya terbulang masih minim bagi sektor ekonomi secara keseluruhan, namun di banyak negara; industri film selalu dipandang sebagai sektor strategis dalam sebuah negara. Mengapa ? karena siklus hidup film relatif panjang. Ihat saja, Film Charlie Chaplin yang diproduksi hampir seabad lalu, saat ini masih bisa dijual dalam beragam format. Atau film Benyamin, yang terus tayang di TV Nasional, dan terus diperbaiki kualitasnya secara digital agar gambarnya terlihat lebih jernih dan bagus warnanya ini kemudian memancing berbagai industri pakaian distro untuk menjadikan Benyamin berdasar film tadi menjadi berbentuk kaos, tas, buku, dll.
Biaya pembangunan industri film relatif kecil, tidak membutuhkan modal raksasa. Sektor ekonomi kreatif digambarkan sebagai sektor padat ide, bukan padat modal. Namun yang juga dianggap penting adalah film disebut sebagai intagible product yang mempengaruhi nilai, cara berpikir, gaya hidup, pemikiran khalayak. Film adalah sebuah industri kebudayaan: industri yang memproduksi budaya.

Indonesia harus bisa berkaca pada Korea. Korea Selatan adalah negara yang menyadari keunggulan sektor ekonomi kreatif. Pemerintah negara ini berkomitmen menjadikan Korsel sebagai kekuatan utama industri budaya global sejak 20 tahun lalu, saat pasar film domestik dikuasai Hollywood.
Kini kerja keras mereka membuahkan hasil. Jumlah penduduk Korea Selatan yang "hanya" 51 juta. Tapi jumlah tiket film nasional mereka yang terjual mencapai lebih dari 114 juta, lebih besar dari film asing yang "hanya" sekitar 105 juta.

Lebih dari itu, film-film Korea pun mengalir ke seluruh dunia. Film Parasite (2019) yang memperoleh begitu banyak penghargaan di ajang festival internasional, termasuk Oscar. Pemasukan totalnya dari pasar seluruh dunia mencapai US$ 160 juta, dengan US$ 31 juta dari pasar Amerika Serikat. Belum termasuk Netflix, televisi berbayar dan rantai bioskop CGV.

Indonesia bisa saja mengabaikan upaya serius untuk membangun industri film nasional. Tapi harus diingat, industri film global, dengan beragam platformnya, akan terus tumbuh. Dan jika ini tidak diperhatikan secara tajam, maka Indonesia akan kehilangan angka yang cukup besar lewat industri ini.

====

Tren film Indonesia juga ternyata masih stagnan dari hasil survey. Film bergenre KOMEDI masih menjadi "juara" yang terus bersaing dengan genre "horor". Sedangkan tema percintaan, laga, sejarah, dan biografi, adem ayem di posisi yang sama selama ini. Ini terbukti dari judul-judul film yang mampu merain penonton jutaan adalah lebih banyak film dengan genre horor dan komedi di Indonesia.
Ini pulalah yang membuat para produsen film, berlomba membuat film dengan genre film tadi, demi meraih pundi-pundi uang untuk kembali diputar dengan memproduksi film baru, atau bahkan menetapkan strategi "sequel" untuk filmnya yang meraih kursi penonton yang besar.


Pemaparan riset ini, akhirnya memiliki kesimpulan bahwa Film Indonesia Hampir menjadi Tuan Rumah di Negerinya sendiri. Hal ini didasarkan dari jumlah film Indonesia yang makin banyak di produksi, Makin banyak jumlah Theater yang dipakai untuk memutar film Lokal, serta makin banyaknya jumlah penonton film yang menonton film buatan Indonesia. Bahkan film Indonesia lebih populer dibanding film Hollywood, India, atau Korea di tahun 2019.

====

Walau ada sedikit insiden dari meja peserta yang mempertanyakan "keberpihakan" penyelenggara bioskop tanah air yang selalu memberi prioritas kepada PH (Production House/ Rumah Produksi) Film besar untuk memberikan layarnya dibanding kepada PH Menegah untuk memutar film produksinya, secara keseluruhan acara ini berjalan baik dan lancar. Ruangan yang tadinya memanas, sampai-sampai Chand Parwez Servia sebagai ketua umum APFI (Aosiasi Pengusaha Film Indonesia) harus angkat bicara menangahi keributan ini, ditambah lagi Hans Gunadi (CEO 21 Group) yang mengajak semua tamu undangan untuk ikut merenungkan langkah yang sudah ia ambil dalam mengelola jaringan bioskopnya terhadap isu-isu yang beredar selama ini.



Penjelasan kedua petinggi tadi juga cukup sejalan dengan pemaparan HB Naveen (Founder Falcon Pictures), yang bercerita bagaimana Falcon jatuh bangun, serta menerapkan berbagai macam strategi bisnis, hingga penyusunan budget produksi serta iklannya, akhirnya bisa menjadi salah satu rumah produksi yang diperhitungkan di tanah air.



Jadi, ayo mari berfikir positif. Dukung terus perfilman tanah air, dengan menjadi penonton bioskop dan anti menonton film bajakan !!





sudah tayang juga di KOMPASIANA, klik disini untuk diarahkan kesana

2 comments:

  1. "Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
    minimal depo dan wd cuma 20 ribu
    dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
    ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com

    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino"

    ReplyDelete

  2. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    ReplyDelete

Powered by Blogger.