Lagi Marahin Anak
Seperti biasa, tiap 2 malem sekali pasti syncronize foto di henpon buat disimpen di HDD. Dan pas di cek, tauya anak cikalku Rizqi Moenandir meng-candid saya pas lagi "marahin" adik2nya Rayyan Moenandir dan Rakhsandrina Moenandir.
Mungkin saya terbilang "aneh" dalam memarahi anak, dibanding orang tua kebanyakan. Ya memang gak pernah juga meniru atau mempelajari adab memarahi anak secara Islam, tapi bener-bener jatuh cinta dengan cara kebanyakan bule-bule Jerman dalam memarahi anak-anak mereka yang kerap saya lihat selama dulu tinggal disana. Para orang tua ini, hanya mengajak anak2 mereka ke pojokan ruangan, diajak dialog, mengajak fokus mendengar arahan, dan...beres !!
====
Dari sejak anak menginjak umur 3 tahun, cara tadi mulai saya praktekkan ke anak2. Alhamdulillah, lumayan hasilnya.
Namanya anak2, dan masa pertumbuhan, kesalahan yang sama pasti terjadi berulang..dan pastinya saya pribadi akhirnya menghadapi percakapan yang sama dengan anak2. Tapi, justru melahirkan kode dan kalimat yang ampuh...perlihatkan jari telunjuk lalu ucapkan "hayo...kok gitu lagi? kan udah janji". Yup...cukup dengan kalimat itu akhirnya bisa meredam "aktifitas luar batas" anak.
1 hal lagi, yakni konflik. Anak lebih dari 1, dan sedang "semangat" mengeksplorasi hidup, pasti tidak luput dari konflik antar mereka. Yang paling parah tentu lngkungannya yang sangat mudah ditiru, entah dari tontonan, atau lingkungan sekitar ketika mereka jalan2, ke rumah kakek neneknya, atau aktifitas lain tentu, yang pada akhirnya berpengaruh pada action mereka dalam menghadapi konflik dengan pihak lain. Dan buat saya, hal yang paling penting adalah menjadi "penengah" yang harus adil dan tidak pilih kasih.
Seringkali terjadi, orang tua sebagai "penegah" tadi mengklarifikasi konflik anaknya secara terpisah. Mereka menggali informasi dari masing-masing anaknya sendiri-sendiri, yang mungkin pertimbangannya agar kondisi lebih tenang dan tidak terjadi keributan lagi saat sedang diklarifikasi. Namun tidak dengan keluarga kami...saya lebih memilih konflik selesai saat itu juga, diklarifikasi langsung dengan semua pihak yang terlibat, kalau bisa ada saksi juga (udah kayak pengadilan beneran lah), karena rasanya "kebohongan" akan tetap ada jika klarifikasi dilakukan terpisah. Dan alhamdulillah, memang akhirnya terjadi "keributan" baru dalam mempertahankan argumen masing-masing...tapi sejurus kemudian, titik terang muncul siapa yang bersalah dalam konflik tadi yang diaminkan kedua belah pihak. Dan ketika 2-2nya memang bersalah, penekanan pada status persaudaraan, arti menjaga keutuhan keluarga, dan rasa sayang antar masing-masing saudara, jadi kunci utama.
Tidak ayal, seringkali tangisan, penyesalan, yang diakhiri permohonan maaf dan pelukan mereka menjadi penutup "sidang". Dan yang juga mungkin menjadi nilai lebih dalam melakukan hal tadi, anak2 ini belajar bagaimana bercerita, bagaimana menjadi jujur, dan bagaimana bisa menilai apa arti dan efek "keretakan" yang terjadi jika berselisih dengan orang yang seharusnya kita jaga dan sayangi.
Lega banget kalau sudah begini. Saya pun sebagai "hakim" ikut meminta maaf dalam menengahi konfik dan banyak berpesan buat bekal mereka, plus mendengar ikrar janji mereka untuk tidak mengulangi hal yang sama kedepannya.
Ah...memang kadangkala sayapun kelepasan membentak, kadang memukul sebagai peringatan, atau bahkan hukuman fisik dengan mengeluarkan mereka dari rumah sebagai tanda saya tidak suka ada family member yang berbuat buruk di keluarga kami. Dan jujur...tapi saya tidak pernah samasekali refleks melakukan pukulan, cubitan, jeweran, atau sejenisnya lho...
Ngomong2, anakku 1 lagi Rashad Moenandir kemana pas kejadian ini ya?
sudah tayang di KOMPASIANA
Leave a Comment